Review: Kepunan - Benny Arnas
Judul : Kepunan
Penulis : Benny Arnas
Penerbit : PT. Grasindo
Tahun : 2016
Tebal : 279 halaman
Menemukan kembali buku karya Benny Arnas setelah setahun lalu
sempat terbaca olehku si hijau “Tanjung Luka”, kembali membuncahkan rasa
penasaranku. Pun hausku akan bacaan-bacaan berbau historis yang belakangan tak
pernah alpa menarik perhatian. Lain dengan “Tanjung Luka” yang menegangkan dan
penuh drama, Benny Arnas berhasil menyuguhkan roman yang apik dengan latar
belakang perang kemerdekaan era 1920-an.
Aih, bila saja waktu bacaku kala itu tak terbentur dengan serentetan agenda
yang tidak mungkin kutinggalkan, yakinlah aku akan melahap “Kepunan” hanya
dalam beberapa jam.
Kepunan. Kali pertama mendengarnya, tak
terbesit sekalipun untuk mencari-cari maknanya—seperti yang biasa kulakukan.
Kubiarkan saja lembar-demi lembar yang kulalui menjawab rasa penasaran yang
kutangguhkan itu. Kisah ini, kalau
boleh kusebut begitu, diawali dengan sebuah surat dari cucu Mendiang Fleur de
Veidjn yang ditujukan langsung kepada tokoh Aku. Hendak belajar mengarang,
katanya, yang akhirnya disambut dengan perjalanan melintasi lorong-lorong
memori yang telah lama disimpannya sendiri.
Memasuki awal cerita, pembaca disambut dengan suasana
Musirawas bersama kekentalan budaya, agama, dan karakter kuat setiap tokohnya.
Musirawas, sebagai bagian dari Hindia Belanda kala itu, masih kental dengan
diskriminasi terhadap kaum Pribumi. Tokoh Aku, pembelajar yang tak pernah lelah
itu, dikisahkan dengan cerdiknya mencuri
ilmu dari kawan-kawan Belandanya. Semangat jiwa muda dalam dirinya membuat ia berhasil
melampaui batas wanita pribumi yang seharusnya. Masih dalam suasana perjuangan, Aku yang
notabene pribumi tulen menjalin persahabatan dengan anak para koloni: Fleur,
Sophie, Julia, dan Emma. Persahabatan inilah yang nantinya akan menjadi
jembatan penting dalam kisah ini.
Konflik pertama muncul ketika semangat belajar dan kecerdasan
yang dimiliki Aku, terutama dalam hal mengarang, tak didukung oleh keluarganya.
Bagian ini diceritakan dengan apik dalam bagian “Aku Berlindung dari Godaan Pengarang yang Terkutuk” yang
membuatku memandang pengarang dengan kacamata lain. Menjelang usia dua puluh,
Aku menikah dengan Aji yang kisah cintanya sukses membuatku turut berada
diantara mereka. Kisah terus berlanjut dengan semakin menegangnya peperangan
antara gerilyawan dan kompeni. Dalam bagian ini, yang perlu disoroti adalah
tokoh Nek Jo yang dalam senja usianya tak pernah merasa renta. Nek Jo, wanita
paling tangguh seMusirawas itu, memberikan warna baru dalam roman ini.
Pada akhirnya, harus kukatakan bahwa kau wajib menaruh
“Kepunan” dalam daftar bacamu sesegera mungkin. Pengemasan kisah dan alur yang
disajikan tidak akan mengecewakanmu. Kepunan merupakan kombinasi apik dari
romansa, keluarga, persahabatan, dan cinta tanah air yang sukses
diharmonisasikan dalam bab-bab kisah yang sayang untuk kaulewatkan. Kepunan
membuatku lelah menempel sticky notes
dalam bagian-bagian yang kuanggap luar biasa. Terlepas dari akhir cerita yang
kukira mulai kehilangan “nyawa”. Lantas, entah salahku entah siapa aku tak
begitu mendapatkan emosi yang seharusnya dapat kuselami dalam setiap
episodenya. Demi kekagumanku pada Umak, NekJo, dan Aku, Kepunan layak
mendapatkan 4 dari 5 bintang dariku!
Komentar
Posting Komentar