Rumah Pohon
Rumah Pohon
“Vir, ayo dong turun. Kita maen yuk?”
“Gak ah. Saya lagi males. Maaf ya.”
Diapun pergi. Aku cuma lagi males
aja diganggu. Apalagi sama anak itu, si Kinar tetangga sebelah. Dia biasanya
ngajak main ke rumahnya, cerita apapun
yang mau diceritain. Tugasku hanya ngasih masukan sama apa yang dia ceritain.
Udah kaya guru BK aja ya, haha.
Hari ini adalah hari Minggu, seperti
biasa kalau hari minggu aku bisa menghabiskan waktu seharian di rumah pohon
ini. Yang aku suka. disini itu tenang, jadi ga ada yang bisa ganggu aku. Di
rumah pohon ini, aku bisa nulis, gambar, atau sekedar ngelamun aja. Yang aku
lakukan saat ini adalah menulis. Menulis dan menulis. Terus saja begitu, menulis
apapun yang ada di benakku. Apapun. Tentang sahabat-sahabatku, tentang “dia”,
dan orang-orang yang ada di sekitarku. Semuanya kutuangkan dalam goresan penaku
di sebuah buku diary kulit ini.
Gak ada yang boleh masuk ke rumah
pohon ini kecuali dua orang. Ya, hanya dua orang. Aku dan si “dia”. Sosok “dia”
disini adalah seseorang yang dekat denganku. Tidak, bahkan sangat dekat.
Seseorang yang mempunyai makna lebih dibandingkan orang lain di hatiku. Dialah
Farhan, sahabatku sejak kecil. Seseorang yang selalu memahamiku, yang selalu
bisa menenangkanku. Yang selalu bisa membuat bibirku tertarik untuk membentuk
sebuah senyuman yang sempurna. Indah, indah sekali.
Dari kejauhan, tampak siluet
seseorang yang berlari tergopoh-gopoh mendekati pohon. Melambaikan tangannya
kepadaku. Senyumku mengembang, Farhan. Sebulan sudah aku tak melihatnya, rasa
rindu menyeruak dalam dada. Mataku pun mulai memburam beberapa detik, lalu
bening kembali. Basah. Tak pernah rasanya aku merasakan rindu yang begitu dalam
terhadapnya. Aku senang sekali.
Tanpa izinku, dia mulai menaiki satu
per satu anak tangga. Melihat ke arahku yang masih terbengong melihat dirinya.
Buru-buru kuhapus air mataku.
“Vir,
gimana kabarnya kamu?”
“Eh
iya, baik-baik. Kamu dari mana aja sih? Saya cari kamu sejak sebulah yang lalu.
Tapi kamu gak pernah ada di rumah.”
“Jadi
gini, sebelumnya maaf ya Vir, saya pergi gak pamit dulu sama kamu. Sebulan yang
lalu, nenek saya yang di Bali meninggal dan kebetulan sekolah saya libur satu
bulan. Jadi, saya putuskan untuk tinggal di situ dulu untuk sementara waktu.”
“Saya
turut berduka cita ya Far, saya benar-benar gak tau soal itu. Saya menyesal.”
“Iya,
gak papa kok.”
Ya, aku senang dia kembali. Selama
dia tak ada, aku kesepian. Tiap harinya, kupanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa
agar tak terjadi apapun yang tak diinginkan terhadap sahabatku ini. Lega sekali
rasanya melihat Farhan di sisiku.
Kami menghabiskan waktu bersama seharian ini.
Dia banyak bercerita tentang upacara Ngaben
neneknya. Hari ini, aku sedang tak ingin bercerita banyak. Jadi aku hanya
berusaha menjadi pendengar yang baik untuknya. Saat dia bercerita, terus saja
kutatap matanya yang indah. Seakan mataku ikut bercerita bahwa aku sangat
sangat merindukannya. Ingin sekali aku memeluknya. Tapi apa daya, aku masih
punya malu untuk itu. Aku senang melihatnya tertawa. Aku senang melihat matanya
yang berbinar-binar itu. Dan, aku mencintainya.
Hari demi hari terasa cepat berlalu.
Tak tahu kenapa, sepertinya ada yang aneh dengan tubuhku. Sakit kepala datang
sepanjang hari, tubuhku terasa melemah. Saat guruku menerangkan di kelas,
akupun sangat sulit berkonsentrasi dan daya ingatku semakin menurun saja tiap
harinya.
Hari ini, pulang sekolah aku
berjanjian dengan Farhan untuk naik ke rumah pohon. Ketika aku sampai, Farhan
sudah sampai di atas. Seperti biasa, Farhan memulai ceritanya. Kali ini, dia
serius sekali. Matanya yang berbinar-binar itu seakan bercahaya. Ia bercerita
tentang Anggun, gadis cantik di sekolahnya. Perasaanku menjadi tertekan,
khawatir.
“Saya
mencintainya, bagaimana menurut kamu?”
Kata-katanya
itu sontak membuatku tercekat. Rasa pusing itu kembali datang dan semakin
menjadi-jadi. Hingga akhirnya aku tak sadarkan diri.
Saat kubuka mataku, tampak Ayah, Ibu,
dan Farhan memandangiku. Ya, ini di rumah sakit.
“Alhamdulillah,
akhirnya kamu sadar juga Vir.” Kata Ibu.
“Iya
Vir, kami sangat khawatir terhadap keadaan kamu.” Tambah Farhan seraya
tersenyum. Manis, manis sekali.
“Saya
kenapa ya, Bu?” Ibu hanya diam, menahan
tetesan bening yang memburamkan matanya, matanya berkaca-kaca.
“Nggak,
kamu gak papa kok. Kata dokter kamu cuma kecapean.” Kata Ayah. Aku tahu, sangat
tahu. Ayah pasti sedang berbohong. Semua terlihat dari matanya yang lebih
jujur.
Di
sebelah ayah, Farhan hanya tersenyum, senyum palsu. Aku tahu, dia pasti tahu
sesuatu. Dia hanya ingin meyakinkanku dan menguatkanku.
Keesokan harinya, masih di rumah
sakit. Ibu dan Ayah sedang keluar untuk menyelesaikan administrasi. Tinggal aku
dan Farhan. Dia menatapku, dalam sekali. Lama sekali dia menatap mataku. Lalu
dia memegang tanganku. Farhan terus saja bercerita tentang Anggun.
“Saya
sudah jadian dengannya tadi malam, Vir.”
Seketika
itu, hatiku remuk redam. Kata-katanya itu terus saja terngiang di telingaku. Sakit,
sakit sekali. Hatiku menangis. Secara spontan, bibirku membentuk sebuah
senyuman. Palsu, semuanya palsu. Aku tak ingin dia tahu aku mencintainya.
“Selamat
ya, saya turut senang mendengarnya.” Ucapku.
Lalu, dia berpamitan pergi. Di dalam
ruangan ini, semuanya sepi. Sendiri. Butiran bening mulai membasahi mataku,
deras sekali. Tubuhku tergoncang oleh isakan yang begitu dahsyat. Namun tetap
sunyi, tak kuperbolehkan suaraku keluar. Cukup aku saja yang tahu. Menangis,
dalam hati.
Tiba-tiba, aku rindu pada rumah
pohonku. Rumah pohonnya. Rumah pohon kami. Aku ingin menulis di atas sana.
Suara Farhan itu, kata-katanya itu, dan matanya yang selalu berbinar memenuhi
fikiranku, memenuhi hatiku. Aku tak suka ini. Aku mulai memberonak kepada
Tuhan.
“Ya
Allah, saya tidak sanggup lagi. Mengapa engkau berikan cobaan yang seberat ini
kepadaku. Apa salah saya? Saya juga ingin bahagia, Ya Allah. Sebenarnya apa
yang terjadi padaku? Apa yang terjadi pada sahabatku itu. Aku mencintainya,
Tuhan. Aku ingin dia ada untukku.”
Rasa penasaranku perlahan mulai
terungkap ketika aku menemukan surat dokter yang Ibu letakkan di laci samping
tempat tidurku. Aku benar-benar ingin tahu. Apa yang sebenarnya mereka
sembunyikan dariku. Perlahan, kubuka surat itu. Kupastikan surat itu milikku.
Benar, nama pasien Ravira Sukma Ayu tercantum di dalamnya. Dadaku menyempit,
nafasku semakin sesak saja. Dan aku tercekat ketika melihat tulisan di surat
itu. Aku menderita penyakit kanker otak stadium 2.
Sekarang aku tahu, aku tak lagi
sempurna. Aku tahu aku tak lagi seperti dulu. Kepalaku semakin pusing, tubuhku
pun makin lama makin lemah, lemah sekali. Sampai aku tak bisa menggerakkan
tangan kiriku. Kufikir, Tuhan tidak adil. Dia memberikan cobaan yang
bertubi-tubi datangnya.
Hingga malam ini, aku belum melihat
siluet Farhan yang biasanya setia menungguiku. Aku sangat kehilangan sosoknya
yang bukan milikku. Aku termenung, Ibu dan Ayah sudah tidur. Kuambil diary kulit dan penaku. Perlahan
kugoreskan penaku, kali ini hati ku yang menulis. Ku tuliskan suratku untuk
Farhan.
Pagi sekali, tampak siluet Farhan
memasuki kamarku. Dia tersenyum. Tapi wajahnya memancarkan sinar yang berbeda.
Ibu dan ayah juga sudah ada di sampingku. Mereka semua tersenyum. Farhan duduk
di kursi sebelahku. Dia menggenggam tanganku, mengecupnya hangat sekali. Lama
sekali dia mengecup tanganku. Butiran bening itu membasahi tanganku, dia
menangis. Akupun tak kuasa menahan air mataku. Dia mengucur, deras sekali.
“Maaf
ya, Vir.” Ucapnya sambil terisak.
“Maaf
untuk apa?”
“Maaf
saya sudah lancang membaca diary kamu
tadi pagi waktu kamu masih tidur....”
Sepertinya
dia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Dia kembali mengecup tanganku,
lebih dalam dan lebih hangat. Dia memelukku, mencium keningku, lalu kembali
mengecup tanganku.
“Maaf
saya sudah banyak menyakiti kamu, saya tidak memahami perasaan kamu. Maaf,
maaf.” Aku hanya bisa menangis dan terus menangis. Aku berusaha menahan rasa
sakit ini dihadapan orang yang sangat kucintai.
“Vir,
saya juga cinta sama kamu. Kamu harus bertahan ya. Saya akan putuskan hubungan
saya dengan Anggun.” Air matanya mengalir semakin deras.
“Kamu
melakukan ini bukan karena penyakitku kan?” kataku menatap matanya yang
berkaca-kaca. Aku tahu jawabannya, dia jujur. Sorot matanya sangat jujur. Farhan
kembali mengecup tanganku, terus menerus.
“Kamu
tahu sendiri jawabannya kan?”
Aku tersenyum, lega sekali rasanya.
Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamanya. Aku memohon agar aku
dikeluarkan dari rumah sakit saja. Syukurlah, orang tuaku mengizinkannya.
Aku menghabiskan sisa-sisa hidupku
bersama orang yang kucintai, Farhan. Di rumah kami, rumah pohon ini. Rumah
pohon ini menjadi saksi bisu perjalanan cinta kami. Entah sampai kapan, Kami
akan menghabiskan sisa waktu ku di sini.
-FIN-
Thanks for reading :)
Post your comment
Komentar
Posting Komentar