Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi?
Kali ini, saya akan mempublikasikan sebuah cerpen bertema budaya lokal. Yang dalam hal ini, saya buat untuk mengisi mading sekolah. :) Selamat membaca.
***
Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi?
(Farakh
K. N – IX A)
Semakin
sore semakin ramai, suasana sanggar tak banyak berubah sejak sebulan yang lalu
kami pindah tempat. Hanya disini lebih nyaman, lebih luas, lebih tenang untuk
latihan. Di sanggar ini, semua boleh bergabung. Dari yang muda sampai tua.
Syaratnya hanya satu: semangat. Mereka yang ingin bergabung dengan sanggar kami
harus memiliki semangat untuk mengembangkan budaya negeri sendiri.
“Wis disik ya, latihan dina iki. Diteruske
sesuk Rebo.” Mbak Rima berdiri empat meter di depanku, mulai berbalik badan
membubarkan kami. Latihan hari ini cukup melelahkan, rasa pegal mulai menjalari
seluruh bagian tubuhku. Kuraih handuk dan menyapukannya di wajahku yang penuh
peluh. Lalu berlalu meninggalkan sanggar.
Belum
lagi kuayuhkan lima langkah kakiku, Ayah berteriak. Membuatku terperanjat. Aku
sudah menduganya.
“Dari mana saja kamu!”
bentaknya.
“E..e..mmm itu Yah, dari
sanggar tari.” Jawabku jujur. Ia pun menggeleng.
“Harus berapa kali Ayah
bilang, tari tarian kayak begitu itu udah gak jaman lagi. Kamu itu anak muda
kok malah gak peka sama perubahan sih. Lihat tuh, temen-temen kamu. Mana ada
yang belajar tari jadul kaya kamu. Ada juga belajar modern dance.” Jelasnya panjang lebar.
Aku menunduk, tak tahu
harus berkata apa. Namun, bisa kudengar ada langkah kaki yang terus mendekat.
“Yah, Ayah gak boleh gitu
dong. Anaknya mau belajar tari tradisional kok malah ditentang sih. Harusnya
Ayah tuh bersyukur masih ada anak muda yang mau peduli sama budayanya.” Ibu
berusaha membelaku.
Ayah pun pergi berlalu. Aku pun naik ke kamarku. Tak
menghiraukan Ibu yang meneriaki namaku di bawah. Pusing rasanya, setiap pulang
latihan aku selalu kena semprot Ayahku yang tak tahu apa-apa. Tentu saja, aku
tak ingin mendengarkan kata-katanya. Bayangkan, tujuh tahun sudah aku belajar
tari. Berbagai penghargaan pun telah berhasil kusabet. Namun tak satupun yang
berhasil membuat Ayah bangga.
Aku suka menari. Saat kita menari, kita dapat
mengekspresikan perasaan kita. Tari itu juga memiliki sebuah filosofi. Setiap
gerakan memiliki makna yang bisa dijadikan sebagai pandangan hidup bagi mereka
yang mengerti. Seperti Tari Barong dari Bali yang menggambarkan pertarungan
antara kebaikan dan keburukan atau dharma melawan adharma yang tiada akhir.
Alunan musik yang mengiringi tari juga membuat hati terasa nyaman, sejenak
melupakan masalah hidup yang tak kunjung habis.
Keesokan harinya...
“May, Maya!” Ayah berteriak memanggilku. Aku pun
berlari menuruni tangga, secepat mungkin.
“Iya, Yah. Ada apa?”
Jawabku gugup, sedikit salah tingkah.
“Kamu harus ikut Ayah
sekarang.”
“T..ttapi kemana Yah? Saya
gak bisa ikut Ayah gitu aja tanpa saya tahu tujuannya.” Jawabku memberanikan
diri.
“Alah, gak usah banyak
tanya. Barang kamu sudah siap. Masuk ke mobil sekarang!” bentaknya.
“Ayah mau usir saya?” Dia
tak menghiraukan kata-kataku. Langsung menarik tanganku dengan kasarnya.
Rasa penasaran terus membayangi perjalanan kami.
Perlahan, aku mulai mengenali jalan ini. Sepertinya ini jalan ke bandara,
batinku. Hatiku mulai resah, kemana aku akan dibawa pergi. Lalu, untuk apa?
“May, maafkan Ayah ya. Ini
adalah jalan yang terbaik untuk kamu.” Wajahnya melunak. Tulus.
“Tapi apa Yah? Jalan
terbaik untuk saya atau untuk Ayah sendiri!”
“Kamu akan Ayah kirim ke
Sydney. Kamu lanjutkan kuliah di sana. Biar kamu gak lagi belajar tari-tarian
jadul itu lagi.”
Akupun tak sanggup mengelaknya. Roda mobil berhenti
berputar. Tas-tas pakaianku satu per satu diturunkan. Lima belas menit
kemudian, pesawat lepas landas. Fikiranku tak disini, melayang jauh.
Membayangkan tentang bagaimana atau apa yang harus kulakukan satelah semua ini.
Bagaimana dengan sanggar? Bagaimana dengan Ayah? Bagaimana dengan hidupku
nanti?
Enam jam pun berlalu, pesawat pun mendarat di Melbourne International Airport. Di
sini, aku akan tinggal bersama tanteku yang kebetulan juga sedang belajar di
sana. Aku akan kuliah di University of
Western Sydney. Tak jauh dari tempat tinggal kami.
Minggu demi minggu pun berlalu, suasana baru, teman
baru. Mereka baik, ramah. Isabella Tyler, Grace Alexander, dan William Jack.
Diantara ketiganya, aku lebih dekat dengan Bella, seorang pelatih modern dance di Melbourne. Keluarganya
punya studio untuk latihan dance. Bella adalah salah satu pelatihnya. Dia mahir
menarikan ballet dan salsa, juga modern dance lainnya. Dia lebih nyambung
diajak bicara daripada Grace atau Jack. Mungkin karena kami punya hobi yang
sama : menari.
Hari ini, aku diajak melihat studionya. Tempatnya
luas dan mewah. Dengan nuansa warna coklat di lantainya, warna krem di
dindingnya. Dinding itu dihiasi kaca-kaca yang tak terhitung jumlahnya. Tentu
saja, memberikan suasana nyaman. Luasnya mungkin lima kali lipat dari sanggar
sederhana kami di Jakarta. Bella masih menjelaskan panjang lebar tentang
studionya.
“Emm, do you like dancing?.” Tanyanya.
“Yeah, of course. I love traditional dance.Em, Indonesian traditional
dance I mean.”
“Oh, Wow! It’s sound nice! Would you like to show it for me? Now, of
course.”
“Okay.”
Akupun memperagakan tari
Gambyong dengan luwes. Sepenuh hati, tentunya. Aku melihat bayanganku di
cermin, puas.
Bella
pun puas dengan tarianku. Dia mengajakku untuk bekerjasama dengannya. Mengajar
tari tradisional Indonesia. Awalnya, aku ragu. Adakah yang mau belajar tari
dariku? Tapi Bella terus memaksaku, membujukku untuk mencoba. Baiklah, kita
coba.
Tanpa
kuduga, ternyata banyak juga yang berminat. Ada lima belas orang disini. Di
kelasku sendiri. Dengan sabar, kuarahkan mereka menarikan tari Gambyong dengan
benar. Mereka semua senang. Aku bisa melihat dari mata mereka yang
berbinar-binar. Perlahan tapi pasti, mereka mulai lihai menarikannya.
Satu bulan sudah aku disini, mengajar tari
segalarupa. Mendapatkan gaji pertamaku sebagai guru. Puas, puas sekali. akan
kukirimkan uang ini untuk Ayah di Indonesia sana.
“Hello, Yah. Saya sudah
transfer uang ke rekening Ayah.”
“Loh, buat apa? Dari mana
kamu dapat uang?”
“Em, Aku mengajar tari di
Melbourne Dance School.” Tukasku.
“Maafkan Ayah ya May, Ayah
sudah melarang kamu nari. Ayah sekarang sadar, ayah bersyukur kamu mau
melestarikan budaya kita, walaupun di negeri seberang. Terimakasih ya May. Ayah
bangga sama kamu.”
“Iya Yah, saya yang
harusnya terimakasih sama Ayah.”
Aku hidup untuk menari. Aku bisa hidup dengan menari.
Aku ingin menari. Membawa nama besar Indonesia ke dunia luar. Kalau bukan kita,
siapa lagi?
TAMAT
Komentar
Posting Komentar