REVIEW Bumi Manusia-Pramoedya Ananta Toer


Image result for bumi manusia



Judul      : Bumi Manusia
Penulis    : Pramoedya Ananta Toer
Seri         : Tetralogi Pulau Buru
Tahun     : 2005
Penerbit  : Lentera Dipantara
Jumlah halaman: 532 halaman






Awalnya saya urung memulai Tetralogi Pulau Buru, maka saya memulai dengan Gadis Pantai. Gadis Pantai menjadi historical fiction kedua yang saya baca setelah Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan yang tak kalah legendaris.

Membaca novel sejarah bagi saya merupakan fase mendewasakan bacaan saya--tak melulu soal metropop atau romance. Novel-novel dan Roman karya Pramoedya yang sudah mashur rupanya menarik perhatian saya. Ditambah pula oleh ulasan-ulasan dan diangkatnya Bumi Manusia dalam teater "Bunga Penutup Abad".

Roman "Bumi Manusia" berlatar Hindia di masa kolonialisme Belanda. Minke, seorang siswa H.B.S., merupakan pribumi terpelajar--suatu yang langka pada masanya. Kisah ini dibuka dengan pertemuan Minke dengan Indo cantik yang lebih suka menyebut dirinya pribumi bernama Annelies. Romansa antara Minke dan Annelies berlalu tanpa konflik berarti pada bagian awal hingga pertengahan.

Kemunculan Nyai Ontosoroh, pribumi Jawa yang diambil gundik oleh Herman Mellema, seakan 'menggeser' peran Minke dan Annalies sebagai poros cerita. Nyai Ontosoroh dengan kecerdasannya yang tak mudah diterima oleh akal menghangatkan Bumi Manusia sebagai pelaku sejarah yang sebenarnya. Pram kembali menghadirkan paradoks dalam diri Nyai Ontosoroh. Jika mengutip kata-kata Minke, bahwa pribumi lekat dengan kebiadaban, Nyai Ontosoroh justru hadir bersama tajam pikiran. Meski dengan kecerdasan dan luas pengetahuan yang dimilikinya, ternyata pribumi tetaplah pribumi.

Minke, begitu orang biasa memanggilnya, dalam sudut pandangnya ia dihadirkan sebagai remaja pribumi terpelajar yang terbiasa dengan segala hal yang ke-Belanda-an atau ke-Eropa-an. Bahkan ia segan berbahasa Melayu, terlebih Jawa! Perjalanan pencarian jati diri Minke penuh dengan jatuh-bangun yang tak wajar dialami remaja seusianya. Ia harus berseteru dengan orang-tuanya, keluarga Bupati B., karena kisah asmaranya dengan Annelies dan sikap ke-Eropa-annya. Sebaliknya, Minke justru tumbuh menjadi pribadi yang lebih dewasa karenanya. Pada akhir cerita, Minke justru mempertanyakan humanisme Eropa yang dipujanya selama ini.

Roman "Bumi Manusia" disajikan dengan alur yang tidak monoton. Permasalahan muncul di bagian awal, pertengahan, dan mencapai klimaks pada bagian akhir. Pembaca tentu tidak akan dapat memprediksi apa yang akan terjadi pada halaman-halaman berikutnya sebab roman ini dipenuhi oleh kejutan.  Membaca "Bumi Manusia", beberapa kali saya harus membolak-balik halaman untuk dapat mencerna apa yang dikatakan oleh para tokohnya karena kurangnya pengetahuan saya.

"Bumi Manusia" patut untuk dibaca semua kalangan, terutama yang menggemari sastra. Sangat sulit menemukan kekurangan dalam novel ini. Hanya terdapat beberapa ejaan yang kurang sesuai, namun tidak mengurangi keluar-biasaannya.

"Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana, biar penglihatannya setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan, pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput" -Bumi Manusia, hlm. 165.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMBERONTAKAN YANG DIDALANGI PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA

Review: Kepunan - Benny Arnas

Puisi (10): Refleksi Diri