Self-healing: Skripsi dan Keresahan yang Meliputinya

Lama sekali tidak menulis apa-apa di sini.
Terlalu lama alpa, bahkan lupa kalau aku masih punya lembaran-lembaran kosong yang senantiasa terbuka untuk kuisi dengan apapun. Jadi, mari kita mulai lagi.

Empat bar. Tangga teratas. Saya sudah berada pada masa-masa akhir pendidikan diploma saya di Politeknik Statistika STIS. Dengan sistem kuliah paket, kami diatur seideal mungkin untuk dapat masuk dan lulus bersama-sama. Seperti yang tentu saja sudah jauh-jauh hari saya antisipasi kedatangannya: tugas akhir atau skripsi. Sebentar, izinkan saya menertawakan diri saya di masa lalu yang terheran-heran mendapati kakak tingkat yang hampir setiap saat mengeluhkan tugas akhir mereka. Menurut saya waktu itu: kerjakan tiap hari saja, toh akan selesai juga. Memang, adik tingkat tidak tahu diri. Tapi itulah yang saya pikirkan saat itu sebagai adik tingkat yang hampir setiap mata kuliahnya ada tugas penelitian dan artikel, ditambah PKL, yang terakhir itu akan panjang ceritanya.

Oke, kembali ke pokok persoalan: skripsi.
Kedatangan skripsi sesungguhnya telah saya antisipasi sejak bulan Juli-Agustus 2019, pengumuman resmi dari kampus, kalau tidak luput, baru ada akhir September-Oktober. Dengan topik skripsi yang cukup berat dan membutuhkan survei lapangan, saya ngegas pol di awal. Sampai awal Januari urusan pengambilan data sudah kelar. Kesalahannya dimulai ketika saya mulai malas-malasan dan moody dalam menyentuh skripsi setelah pengambilan data. Rasanya seperti: AHHH BERI AKU WAKTU BERNAFAS SEDIKIT, kumohon. Lalu ke-moody-an itu berlanjut sampai saat aku menulis ini. Maafkan aku untuk prefer menyebut moody daripada malas. 

Seberapa parah? 
Pertama, saya harus mengagendakan penulisan skripsi tiap harinya, dan harus dimulai dari pagi, tanpa agenda lain di hari itu. Dan hari-hari seperti itu tidak selalu datang. Kedua, saya bisa bekerja dengan fokus di luar kamar. Boros? tentu, saya bahkan menganggarkan uang bulanan saya untuk kepentingan pergi ke Perpusnas yang seminggu bisa sampai tiga kali. Ketiga, yang paling parah adalah membiarkan diri leyeh-leyeh setelah bimbingan, yang durasinya bisa sampai dua hari. Atau mengerjakan setengah hari, istirahat dua hari. Keempat, saya tidak bisa bekerja di perpustakaan kampus, dengan banyaknya mahasiswa sekampus di sana. Separah itu. Saya tidak tahu apakah hanya saya yang mengalami krisis semacam ini. Dari situ saya tergelitik untuk menuliskan keresahan saya.

Lalu mari berpikir, mengapa bisa begitu?
Setiap orang memiliki cara dan ritme bekerja masing-masing, namun dituntut untuk sampai pada tujuan akhir secara bersama-sama, atau lebih cepat. Saya menyadari ritme kerja saya melambat karena pada bulan Januari-Februari saya gencar melakukan studi literatur: yang secara fisik tidak ada output kerjanya, tidak ada file yang bisa menunjukkan kalau saya sedang mengerjakan skripsi. Bagian studi literatur ini sangat rumit, butuh konsentrasi tinggi, bikin pusing dalam beberapa kesempatan karena mempertentangkan beberapa teori ahli di dalam kepala. Belum lagi rumus-rumus teknis yang aku tidak yakin bisa mempelajarinya sendiri. Maka suasana dan mood yang baik 70 persen memengaruhi ritme kerja. Sekali lagi, saya minta maaf kalau ini terdengar seperti pembelaan akan kemalasan saya, hehe.

Bagaimana saya mengendalikan suasana?
Note to self.
Bagian satuPlease, berhenti melihat progress orang lain, fokus pada timeline kamu sendiri, dan tentu saja timeline jurusan. Bahkan progress teman seperbimbingan pun. Kamu akan tiba di sana dengan hasil yang maksimal kalau kamu memperjuangkan selangkah demi selangkah sekarang. Jaga ritme. Satu lagi, jangan ambil pusing dengan: "Skripsimu sudah sampai bab berapa?" lain waktu akan kuceritakan kegundahanku menghadapi pertanyaan semacam itu.

Bagian kedua. Bangun pagi dan mandi sangat memengaruhi harimu. Jadi, please, jika kamu masih ingin mimpimu tergapai, do it. Bikin minuman favorit kamu, tutup newspage covid19 yang kamu pantengin setiap jam itu. Duduk yang baik, nyalakan laptop, buka buku catatan. Lakukan hal sekecil apapun, I know it can make u feel much better to be productive. Cari dan selesaikan satu-satu, jangan mikir macem-macem.

Bagian tiga. about the virus, tidak bisa mengerjakan di luar kamar. FACE IT seperti tidak terjadi apa-apa. Please, kurang-kurangin scroll laman berita online yang bikin kepalamu hampir meledak sekarang. Fokus sama tujuan utama kamu: lulus dengan sebaik-baiknya. 

Saat tulisan ini dipublish, saya hanya punya dua bulan efektif (April-Mei) untuk menyelesaikan penulisan laporan penelitian, saya agak benci menyebutnya, tapi baiklah: skripsi. Dengan posisi progress hasil 70 persen selesai, penulisan 15 persen (Bab I dan sebagian kecil Bab II). Deg-degan? Sangat. Belum lagi dengan tekanan sidang-seminar daring. I hope suatu hari nanti, saya kembali lagi membaca ini setelah selesai wisuda, lalu tertawa-tawa melihat dirinya yang dulu segila ini sampai harus menuliskan hal ini.

Selamat berjuang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMBERONTAKAN YANG DIDALANGI PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA

Review: Kepunan - Benny Arnas

Puisi (10): Refleksi Diri