Self healing: Menjadi Sendirian

Selamat pagi, tidak menyangka bisa menyambangi blog sepagi ini.
Persetan dengan ungkapan-ungkapan negatif yang baru saja kuterima lewat sosial media sepagi ini, mari menyembuhkan diri, lagi.

Menjadi sendiri.
Hal yang paling kutakutkan segera tiba. Saya sudah berada di penghujung masa kuliah. Saya bersyukur bahwa cukup banyak kawan, teman, sahabat yang saya jumpai sepanjang empat tahun kuliah di Jakarta. Tapi coba tebak? Ya, saya masih merasa sendiri. Sejak mengakhiri hubungan dengan mantan pacar empat tahun silam: saya bertemu dan berkawan dengan lebih banyak orang, hal yang tidak bisa saya lakukan selama masa pacaran. Kemudian saya sibuk haha-hihi berkawan sana sini hingga tiba pada tingkat akhir.

Semuanya menjadi berbeda. Perkuliahan tidak sepadat dulu. Kegiatan kampus tidak semasif sebelumnya. Semua orang mendadak jauh, menarik diri dari saya (?) dan mungkin lingkungan pergaulan lain. Sahabat-sahabat yang dulunya tidak pernah tidak hang out dan cerita ngalor-ngidul mengambil jeda, berfokus pada diri masing-masing. Saya? kebalikannya. Baiklah, kamu boleh tertawa.

Di saat semua orang menarik diri, saya tidak. Saya tetap merasa butuh teman untuk membahas abang tukang mendoan yang ganti orang, atau kejadian bodoh salah naik transjakarta, atau hal-hal yang tidak penting lainnya. But they matter, for me. Bisa begitu ya? Di saat mereka fokus menyelesaikan tugas akhir, saya juga, tapi saya tidak habis fikir mengapa mereka tidak sama seperti saya? apa mereka tidak perlu membahas hal-hal konyol juga? Demikianlah, saya kemudian merasa kosong: sendirian.

Seorang teman pernah menegur bahwa saya merasa demikian bukan karena mereka yang meninggalkan saya: saya yang meninggalkan mereka. Bagaimana bisa? Pernah tidak sih mereka merasakan emosi yang memuncak, perlu ditumpahkan dan tidak bisa ditahan sendiri: kemudian orang-orang yang dianggap sahabat baru muncul setengah hari kemudian. Enam jam kemudian. Kemudian saya mendekap diri sendiri terlalu kuat: keluar dari lingkup pertemanan yang saya kira semakin membuat saya tertekan karena ekspektasi afeksi yang tidak saya dapatkan. Kesalahan saya untuk berharap pada manusia. Kesalahan saya pula untuk mendekap diri terlalu kuat sehingga menyakiti diri sendiri dan mereka.

Kemudian saya beranjak, tahu bahwa berlarut-larut dalam kesedihan karena kesendirian ini gak baik. Saya berfikir saya butuh orang untuk keluar dari lingkaran setan kesendirian ini: cari pacar? Kemudian lingkungan saya bereaksi: tidak harus punya pacar untuk bisa tidak sendiri. Benar, tapi saya sudah capek berharap kepada teman-teman saya. Tapi di satu sisi, pengalaman asmara saya benar-benar nol besar. Ok mungkin gaakan ada yang percaya kalau saya tidak pernah mendapatkan afeksi apapun dari lawan jenis sepanjang 4 tahun setelah saya putus dari pacar pertama saya. Tapi nyatanya memang begitu. Tau gak sih rasanya tidak diinginkan? 

So I do a lot of introspection.
Saya mulai kembali mencintai diri saya sendiri, I do skin care routine, I swim, membuat diriku sendiri lebih baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMBERONTAKAN YANG DIDALANGI PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA

Review: Kepunan - Benny Arnas

Puisi (10): Refleksi Diri