Bagaimana Caraku Bertahan: Sebuah Refleksi Bagian Satu

Hai, berjumpa lagi. Rasanya aku berhutang untuk empat tahun terakhir: menuliskan episode-episode paling krusial dalam kehidupanku memasuki usia seperlima abad. Tapi, baiklah. Mari membuatnya tidak seperti beban atau hutang. Maka kuputuskan membikinnya seperti aktivitas berkacaku setiap pagi: refleksi. Harapanku, semoga tak berlebihan, ada beberapa makna yang bisa kusimpan untuk hidupku ke depan. Dengan ini, kupersembahkan: refleksi.

Kutuliskan ini diiringi suara Nadin: 
kita beranjak dewasa, jauh terburu seharusnya
bagai bintang yang jatuh, jauh terburu waktu
mati lebih cepat, mati lebih cepat

Tepat sekali. Maka kubawa ia, Farakh 4 tahun lalu, dihadapan kita sekarang juga untuk bercerita. 
Tahun pertama: 2016-2017.

Tahun pertamaku dimulai dengan kesalahan yang cukup kusesali hingga sekarang: luput memilih tempat tinggal. Terlalu tenggelam dalam euforia berhasil masuk perguruan tinggi kedinasan. Maka kuperlukan terkekeh sebentar ketika di masa depan aku mendengar cerita yang hampir sama dari kawan-kawan. Kamar kos di ujung jalan itu berukuran 3x2,5 meter yang kusewa dengan tarif enam ratus ribu. Ketika pertama kali masuk, aku berdecak heran karena hanya ada dua barang di dalamnya: kasur dan lemari. Bahkan sprei dan bantal pun tidak di sana. Tuhan, begini kah cara Jakarta menyambutku? Lalu malam itu aku dan Bapak perlu berjalan kaki cukup jauh untuk membeli ini-itu. Dua orang kebingungan disambut Jakarta. Tak cukup sampai di sana, tidak ada sinyal yang bisa masuk ke kamar. Kau mungkin tidak bisa membayangkan bagaimana kukerjakan tugas orientasi mahasiswa di tangga yang gelap, lembab, bahkan aku sendiri tidak sanggup membayangkannya lagi. Tapi Farakh empat tahun lalu begitu kuat-untuk tak kusebut naif. Tanpa kawan, berjalan kaki 1 kilometer demi mencari modem ketika ponselku mendadak rusak di tengah deadline. Benda itu bahkan sekarang sudah ada di kotak yang kupertimbangkan untuk dibuang, kalau saja aku tidak ingat bagaimana kisahnya.

Kadang aku ingin kembali menjadi naif dan polos seperti di tahun pertama agar cukup kuhabiskan 20 ribu saja untuk makan seharian. Tidak kenal makanan-makanan Selatan yang harganya melangit. Tidak kenal mall-mall Jakarta yang menguras kantong awal bulan, serta tidak kenal coffee shop yang menghabiskan jatah makan seharian. Bahkan waktu itu kuperlukan menyesal berhari-hari karena makan indomie-kornet 13 ribu di bawah jembatan penyebrangan. Baik, aku akan menyebutnya culture and social shock. Pengalaman pertamaku masuk mall Jakarta bahkan baru terjadi saat malam setelah penerimaan IP semester 1: "hitung-hitung sebagai perayaan" tapi malah keterusan sampai lulus. Untuk yang satu ini, aku yang sekarang harus belajar banyak dari Farakh 4 tahun lalu.

Baiklah, rasanya tidak afdhol jika momentum awal perkuliahan terlewatkan. Saat itu untuk pertama kalinya dalam hidup, aku senang bersosialisasi dengan orang-orang baru. Bertemu dengan orang-orang dari seluruh penjuru negeri membuatku belajar banyak hal, terutama: menerima dan menyingkirkan stigma. Sesederhana menerima bahwa di warung-warung tegal di sepanjang jalan selalu kebingungan ketika kupesan nasi rames. Hingga berusaha menerima intonasi dan volume bicara yang beragam yang rawan multitafsir: kerasnya suara teman-teman dari Sumatera dan Kalimantan, kecepatan bicara anak Sulawesi, hingga kuperlukan memasang "hah?" lebih sering atas pembicaraan dengan logat Jawa Timuran. Aku juga belajar banyak hal dari teman-teman yang tumbuh di luar Pulau Jawa: tangguh, tegas, dan berpendirian. Aih, apakah aku masih akan bertemu lagi dengan mereka?

Seperti lembut yang mengizinkanku lebih kuat dan tak lemah
Seperti lembut yang memperbolehkanku lebih lemah dan tak gagah

Namun, harus kuakui Farakh di tahun pertama melakukan kesalahan dengan membuat pertemanan-pertemanan dekat hanya dengan mahasiswa-mahasiswa asal Jawa Tengah. Meskipun di masa depan aku belajar dalam kuliah sosiologi dan psikologi bahwa mereka yang punya banyak kesamaan cenderung berkelompok. Tapi rasanya waktu itu aku bisa lebih dari itu. Its okay. Selanjutnya harus kuakui bahwa aku luput juga dalam membuat penilaian sebelum mengenal seseorang. Celakanya, hal ini terjadi pada seorang sahabat dekat. Maaf... Sejak saat itu aku belajar untuk tak membuat penilaian tentang seseorang secara berlebihan sebelum mengenal lebih jauh latar belakangnya. 

Di tahun pertama ini, aku berteman dengan cukup banyak orang. Senang sekali rasanya bisa menjadi pribadi yang baru setelah tersisihkan dalam pergaulan semasa SMA. Rasanya lega sekali untuk tahu bahwa kehadiranku masih bermakna bagi sebagian orang, meskipun sebatas yang kurasa saja. Setelah berpindah ke kos yang baru, aku bahkan menemukan teman-teman satu frekuensi, lagi-yang terakhir kali kutemukan di usia 13. Alhamdulillah, terima kasih, Tuhan, atas kesempatannya sekali lagi.

/menghela nafas/
Baiklah. Akan aku ceritakan pula bagaimana caraku bertahan menghadapi kerasnya dunia akademik di tahun pertama. Dalam acara orientasi di Auditorium kala itu, aku tergugah ketika hampir setiap pembicara membayangiku dengan hantu mengerikan bernama: drop out. Sedemikian ngeri sehingga kuperlukan untuk membuat beberapa rencana demi bisa selamat. Tidak ada nilai D lebih dari 1 di mata kuliah inti. Demikian kuresapi. Beberapa rencana itu kutuliskan dalam kertas yang bahkan aku masih ingat isinya sampai sekarang: [1] Top 10 Lulusan Statistika 2020; [2] Penempatan Terbaik; dan [3] Belajar ke luar negeri. Kukerat segi empat dan kutempel di lemari. Sebuah rencana yang kurasa terlalu muluk bagiku yang bukan siapa-siapa di antara orang-orang jenius seisi Auditorium. Tapi tekadku sudah bulat: mewujudkan target pertama dan kedua, empat tahun ke depan. Pelajaran pertama: tekad yang bulat.

Sepanjang semester, aku bertemu  dengan mata kuliah yang sama sekali asing: aljabar linear, kalkulus, metode statistika, pengantar demografi. Aku bahkan sempat tak percaya mendengar kawan sekelas dengan enteng berkata "ini kan hanya mengulang pelajaran SMA" atau "aku sudah belajar di kuliahku sebelumnya", lalu mereka berlomba-lomba mengerjakan soal-soal di depan kelas. Sedangkan aku? Bukan siapa-siapa dan tidak mengerti apa-apa. Maka caraku bertahan selanjutnya adalah menjadi kesetanan, membeli-meminjam buku-buku latihan soal sebanyak mungkin. Kuperlukan mengulang pelajaran setelah pulang kuliah dan mempelajarinya sebelum dosen menerangkannya esok hari. Demikianlah, aku bahkan pernah sekali waktu menangis dalam kelas Kalkulus I karena tidak mengerti integral fungsi trigonometri. Traumatik, tapi dengan demikian aku semakin kesetanan belajar. Setiap akhir pekan tiba, aku senang karena bisa merangkum materi dengan leluasa di rooftop kos yang baru selesai dibangun. Rasanya rindu sekali menjadi demikian.

Berbaring tersentak tertawa
Tertawa dengan air mata
Melihat bodohnya dunia
Dan kita yang masih saja: berusaha.

Setelah lolos dari drop-out semester pertama, semester kedua ternyata lebih mengerikan. Maka caraku bertahan selanjutnya adalah: menyukai hal yang paling aku tidak bisa. Mata kuliah Algoritma dan Pemrograman. Aku dan temanku selalu terkekeh ketika mendapati diri kami sama-sama gagal mengerjakan soal kuis Alpro: hanya mampu menulis fungsi input. Namun itulah yang menjadi titik balikku. Setelahnya, dalam jadwal belajar selalu kuselipkan Alpro dua sampai tiga kali seminggu. Kembali menjadi kesetanan membeli buku-buku pemrograman. Terbayar dengan nilai A minus. Lega sekali. Demikianlah caraku bertahan di tahun pertama.

Teruntuk diriku di masa lalu,
Terima kasih sudah mampu berjuang sekeras itu. Terima kasih untuk tidak menyerah menghadapi dunia dan percaya pada kemampuanmu sendiri. Dan terima kasih sudah membentukku menjadi seperti sekarang. Selamat beranjak dewasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMBERONTAKAN YANG DIDALANGI PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA

Review: Kepunan - Benny Arnas

Puisi (10): Refleksi Diri