Menelusuri Rasa Bersama "Aruna dan Lidahnya"

Beberapa hari lalu, aku baru sadar November sudah hendak habis dan sedikit terkejut mendapati 2020 sebagai tahun paling surutku dalam membaca buku. Tentu saja setelah membuka goodreads dan hanya menemukan Pulang milik Leila S. Chudori bertengger sendirian dalam daftar. Maka dalam perjalanan menemukan the old me, kuperlukan melahap beberapa buku untuk mengantarkan 2020 pada peraduannya. 


Judul: Aruna dan Lidahnya (2014)

Penulis: Laksmi Pamuntjak

Halaman: 429

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Harga: Rp95.000

Aruna dan Lidahnya, kubungkus barang setahun lalu dari Gramedia, yang kemudian berjalan dari teman-ke-teman bahkan sebelum sempat kutamatkan. Maka kuputuskan mulai berkawan dengannya seminggu lalu. Kesan pertamaku justru datang dari penyesalan membeli buku ini dengan versi cover filmnya: hal yang nyaris tidak pernah kulakukan sepanjang hidupku bercumbu dengan buku-buku. Meski tak cukup esensial, hal ini cukup membuatku meletakannya berbulan-bulan tak tersentuh. 

"Aruna dan Lidahnya" memulai kisah dari bagaimana sang tokoh utama, Aruna, memandang ketiga sahabatnya: Bono, Nadezhda, dan Farish. Dapat kukatakan bahwa Aruna adalah perempuan perasa yang aku sendiri sebagai pembaca dibuat terkejut, menduga-duga, dan terus berpikir ulang bagaimana bisa ia berada dalam teritori yang demikian dekat dengan orang lain: sekalipun sahabat. Dalam suatu bab, Aruna menampilkan sisi lainnya sebagai perempuan pada umumnya yang tidak percaya diri dengan menggambarkan diri sebagai popocorn dan Nad sebagai sampanye. Tapi justru itulah yang kemudian membuatku merasa lebih dekat secara emosional dengan tokoh Aruna: sebuah pengalaman yang sama. Kesan selanjutnya adalah bahwa Laksmi Pamuntjak berhasil meniupkan nyawa pada setiap tokohnya dengan karakter yang kuat dan tidak mudah dilupakan. 


Aruna dan Lidahnya. Apa yang kuharapkan dari membaca Aruna-yang seorang ahli wabah-untuk escaping myself dari wabah yang sedang terjadi di dunia nyata? Di satu sisi aku menggerutu karena bertemu lagi dengan bahasan soal virus yang memuakkan bersama kosakata isolasi, kasus konfirmasi, bahkan nCov. Tapi di lain sisi, karenanya aku merasa lebih dekat dengan dunia dalam kisah ini. Tapi mari kita lupakan soal pekerjaan Aruna karena membaca novel ini memberikanku banyak pengalaman baru soal rasa.  Aruna, Bono, dan Nadezhda membuatku lebih mengerti bahwa makanan dan aktivitas makan tidak sepatutnya hanya dianggap sebagai alasan bertahan hidup, melainkan perjalanan spiritual yang jika berada pada komposisi yang tepat akan membuat hidup kita lebih bergairah. Mengikuti perjalanan mereka dari satu resto ke resto lain, telah berhasil mengubah sudut pandangku tentang satu dan lain hal: harga makanan. Tentang bagaimana kompleksnya sebuah rasa diciptakan sehingga patut disematkan harga sedemikian mahal.


Aku tak habis pikir bagaimana Aruna, Bono, Nadezhda, dan Farish yang tiga diantaranya menyebut diri mereka sebagai foodie menjelajah separo Indonesia demi "makan sampai mampus". Menjadi pengalaman membaca yang tidak akan kulupakan karena penuh kenikmatan sekaligus kekesalan. Dalam persinggahan mereka di Madura misalnya, sukses membuatku menggerutu karena teringat kentalnya sambal hitam Bebek Madura di perantauan yang belum kusambangi lagi semenjak pandemi. Bahkan tidak ada satupun warung Bebek Madura di tempat asalku ini. Lain waktu, bersama persinggahan mereka di Palembang kuperlukan juga memesan Pempek, meski kutahu Pempek di Jawa jauh dari kesempurnaan rasa yang disesap Aruna and the gank. Maka satu pesanku untukmu: siapkan diri untuk makan bersama mereka, dan mustahil untuk diet ketika membacanya. Kecuali kamu memang sangat ahli. Aku tergelak mendapati bahwa Aruna dan Lidahnya versi film sukses menghadirkan makanan berat dalam bioskop secara legal. Gila dan sinting.

Sayangnya, entah aku yang luput atau bagaimana, lidah Aruna kurasa tak mendominasi dalam novel ini meskipun dikisahkan dalam sudut pandangnya. Perpaduan rasa yang sukses membuat salivaku berkumpul justru datang dari perbincangan Bono dan Nadezhda yang sangat intens dalam mengulas ini dan itu. Dalam pertengahan hingga bagian akhir, Aruna justru dikisahkan enggan menyantap ini dan itu. Atau sekali lagi, mungkin aku yang tak fokus membaca lidah Aruna. Terlepas dari itu, kisah perjalanan ini cukup membuatku sulit beranjak dan menyesal jika lewat membacanya dalam satu hari saja. Gaya bahasa yang mudah kumengerti dan dekat dengan kehidupan menjadikan novel ini patut dilahap saat senggang: ringan, namun cukup membuatku berpikir dan meriset beberapa hal yang menarik perhatianku. Satu lagi, Laksmi Pamuntjak berhasil menaruh bumbu romansa dengan porsi yang sangat tepat sehingga tak membuat nafas dari tema utamanya hilang. Tiga dari lima bintang dariku, selamat makan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMBERONTAKAN YANG DIDALANGI PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA

Review: Kepunan - Benny Arnas

Puisi (10): Refleksi Diri