Menjejak Bumi Bersama Asmara, Menyelam Laut Bersama "Laut Bercerita"


"Laut Bercerita" selalu menarik mataku setiap kali berkunjung ke toko buku di tengah kota pada hari Minggu. Sehingga ia menetap dan mengganggu pikiranku berbulan kemudian. Sampai-sampai kusempatkan mengunduh dalam gawaiku melalui iPusnas, namun mataku enggan diajak bekerja sama. Sampai bulan-bulan setelahnya, aku terduduk di Auditorium kampusku bersama ratusan orang lainnya, menyaksikan Leila S. Chudori membagi kisah Laut melalui film pendeknya yang tidak bisa kulupakan hingga sekarang. 

Kisah Laut kini berada dalam genggamanku melalui novel "Laut Bercerita" bersampul ilustrasi pedih sepasang kaki tenggelam lengkap dengan rantai pemberat. Laut memulai kisahnya pada perjalanan hidup tahun 1991 di Seyegan, Yogyakarta, bersama kelompok aktivisnya. Demonstrasi, aksi demi aksi, dan diskusi-diskusi panjang demi memperjuangkan negeri yang demokratis mewarnai episode-episode kehidupan Laut. Kisah ini begitu dekat dengan kita, bukan? Meski aku sama sekali tidak pernah masuk dalam dunia "mahasiswa yang sesungguhnya", kisah ini memberiku pengalaman dan sudut pandang yang selama ini tidak bisa kudapatkan.

Kisah Laut dan perlawanannya terhadap pemerintahan Orde Baru, sebuah tema yang cukup berat, dibawakan dengan ringan. Aku diajak masuk dalam dunia Laut, di rumah-rumah persembunyian, di bawah tanah, dan "sesekali" di meja makan rumah keluarganya di Ciputat. Membaca kisah ini membuatku seperti diajak menelusuri jalan pikiran idealisme mahasiswa pada masa itu, sekaligus masuk dalam penjara-penjara bawah tanah. Ikut teriris-iris hatiku ketika penyiksaan-demi penyiksaan membelenggu mereka. Hingga sampai pada pertengahan kisah, aku menyayangkan mengapa baru sekarang aku tahu kisah semacam ini ada di negeriku?

"Matilah engkau mati/
Kau akan hidup berkali-kali"

Perlu kugarisbawahi bahwa kisah ini sungguh kental dengan unsur kemanusiaan atau humanis: rasa sayang orangtua terhadap anak-anaknya, kekasih terhadap pasangannya, adik terhadap kakaknya, sehingga sekali lagi kusampaikan begitu dekat dengan kehidupanku. Ketika Laut berhasil mengajariku cara untuk berjuang, Asmara sang adik mengajariku menjejak bumi dan berdamai dengan keadaan. Ya, sudut pandang Asmara turut melengkapi kisah ini dalam bagian lain. Setelah sampai pada halaman terakhir, aku cukup terpukul hingga kuperlukan mengheningkan cipta untuk ketenangan jalan 13 aktivis yang tidak lagi muncul hingga sekarang.

Leila S. Chudori berhasil membawakan kisah ini dengan begitu apik. Dengan plot maju-mundur, aku dibuatnya berpikir lebih kritis dalam membaca situasi cerita. Ia berhasil membuat tokoh-tokoh itu hidup dengan karakter yang kuat dan sedemikian dekat dengan pembaca. Biru Laut, Asmara, Anjani, Alex, Kinan, Sang Penyair, Sunu, Daniel, bahkan Naratama berhasil kuingat lekat-lekat dalam ingatan; lengkap dengan sudut pandang masing-masing. Sebuah hal yang besar karena aku merupakan pembaca yang acuh dengan tokoh-tokoh yang jumlahnya tidak sedikit. 

Pada akhirnya, novel ini sedikit banyak akan mengubah sudut pandangku pada dunia yang sedang kuhadapi sekarang. Rasa-rasanya, "Laut Bercerita" patut kuberikan bintang 5/5 bersama satu lainnya: Cantik Itu Luka. Kau tak akan menyesal membacanya. Semoga keadilan segera datang, esok, lusa, atau hari-hari setelahnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMBERONTAKAN YANG DIDALANGI PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA

Review: Kepunan - Benny Arnas

Puisi (10): Refleksi Diri