Dear Someone...
Semuanya selesai dalam sekejap, tubuh
mungilku mulai beranjak dari tempat tidur yang terasa semakin hari semakin
menipis saja. Mataku mulai terbuka seiring dengan langkah kakiku yang semakin
berat saja. Aku masih berada di dalam kamar mungil yang tak pernah ku
tinggalkan setiap harinya. Suhu yang cukup ekstrim yang mendera desa ini
jugalah yang memotivasi diriku untuk membuka mata lebih awal setiap harinya.
“Yap,
jam tiga pagi.” Gumamku seraya melirik ke jam dinding di atas pintu kamarku. Tak
terasa, kakiku mulai melangkah, seperti gerakan yang refleks dan otomatis. Aku
tak pernah menyuruhnya bergerak. Kaki ini mulai berjalan menuju ke padasan1 di belakang rumah.
Kubasuhkan air ke wajahku yang masih berkeringat, ke tanganku secara perlahan.
Benar, aku sedang berwudhu. Segera aku kembali melangkah menuju ke kamarku.
Kuambil mukena yang kusut –peninggalan nenekku– dari cantelan. Dengan khusyu’
terucap dalam mulutku bacaan salat yang telah kupelajari sejak kecil. Dalam
doaku, aku meminta apapun yang terbaik bagiku, bagi orang tuaku dan bagi
orang-orang di sekitarku.
Setelah
menunaikan ibadah sholat tahajjud, aku melangkah menuju ke luar rumah. Tidak,
dibalik pohon tepatnya. Dengan diterangi lilin seadanya, di bawah pohon ini
adalah tempat favoritku di rumah ini. Disini, aku bisa mengeluarkan apapun yang
ada di fikiranku, menceritakan apapun masalahku yang kutuangkan dalam tarian
penaku di atas buku diary bersampul
kulit pemberian ayahku. Termasuk sekarang, permasalahan yang mulai menderaku
akhir-akhir ini menjadikan selalu terpaku pada buku ini. Kuceritakan semua
masalahku, pena mulai kugoreskan pelan namun pasti. Berharap ada keajaiban yang
muncul hari ini. Memohon semua yang terbaik.
Rasanya
tak sanggup lagi kuselesaikan isi diary ku hari ini, semuanya terasa berat.
Pandanganku mulai buram dan semakin buram. Hingga setitik air jatuh ke diaryku dan pandanganku bening kembali.
Tak bisa ku bendung lagi, air mataku terus mengalir dengan derasnya. Akhirnya,
adzan subuh menggugahku. Perlahan, ku usap air mataku dan beranjak dari tempat
dudukku.
Saat
kembali memasuki rumah rapuh ini, di dapur kulihat siluet Ibu yang sedang sibuk
dengan sayurannya. Tentu saja, setelah sholat aku akan langsung membantunya.
“Vir, kok kamu belum siap-siap?” dahi
Ibu yang mulai keriput itu pun ikut begerak.
“Nanti saja bu, aku bantu Ibu dulu
ya? Ini kan masih pagi.” Jawabku santai.
“terserah kamu saja, Nduk.”
**********
Suasana
sekolah semakin siang semakin ramai. Ada pula yang datang bersama orang tua
mereka, ada juga yang hanya seorang diri, seperti aku. Benar, ini adalah graduation ceremony. Semua orang yang
datang memakai kebaya atau pakaian daerah disetai dandanan mereka yang cantik,
ada juga yang terlalu menor menurutku. Tapi apa yang terjadi padaku, aku hanya
memakai seragam putih biru alias seragam OSIS satu-satunya ini.
**********
Semalam,
telah kusetrika baju OSIS ini khusus untuk upacara kelulusan hari ini. Aku
sampai meminjam setrika tetangga untuk itu. Maklum, keluarga kami memang
keluarga yang serba kekurangan. Untung saja, Bu Hera, tetangga kami ini sangat
baik hati kepada kami sehingga dapat kusetrika baju ku yang mulai memucat
warnanya ini.
**********
Upacara
perpisahan dimulai. Orang tua siswa SMP ini mulai memenuhi kursi-kursi hijau
yang telah di sediakan. Aku pun melihat siluet Ibu di kursi paling depan. Duduk
di kursi kehormatan yang disediakan panitia khusus untuk orang tua siswa
berprestasi di angkatanku. Ibuku terlihat murung. Berbeda dengan orang tua
siswa lain yang terlihat gembitra dengan dandanan mereka yang serba gemerlap. Ibu
hanya berdandan sekenanya, memakai bedak tipis untuk menutupi minyak di wajah
keriputnya. Sepertinya aku tahu apa yang sedang dipikirkan olehnya.
Benar, aku adalah peraih
nilai kelulusan tertinggi di angkatanku. Tentu saja, aku sangat gembira
mendengarnya. Namun, kebahagiaan itu mulai luntur. Senyum yang selalu
tersungging di wajahku berubaah menjadi kemurungan yang aku sendiri tak tahu
kapan berakhirnya. Ditambah lagi dengan memandang wajah Ibu. Dari langkahnya
yang semakin memelan setiap harinya. Aku tahu, beban yang menimpanya semakin
berat pula. Setelah ayahku meninggal dunia satu tahun yang lalu, Ibu menjadi single parent yang kuat. Dia harus
menghidupiku dan adikku yang masih sekolah jua. Setiap harinya, dia membanting
tulang, menjual sayur mayur segala rupa berkeling dari kampung ke kampung. Demi
membiayai sekolah kami yang tak lagi murah.
**********
bersambung...:)
BalasHapusthanks for reading