Yes, I Can!




                Pagi ini, seperti biasa. Ku langkahkan kakiku menuju ke sudut sekolah. Ya, kelasku ada di pojok sekolah. Suara gemuruh riuh terdengar di mana-mana seperti tak mau berhenti. Setiap siswa punya kesibukannya masing-masing. Ada yang sekedar bercerita, ada yang berlari kesana kemari, ada pula yang berduaan dengan pasangannya. Seperti inilah keadaan sekolahku tiap harinya. Melihatku, siswa dari kelas lain hanya memincingkan mata. Pura-pura tidak melihat tepatnya.
                Aku adalah salah seorang siswa kelas IX H. Kelas paling terakhir. Seperti yang sebagian besar orang bayangkan, kelas kami dianggap kelas yang tak diharapkan adanya. Kelas paling kumuh, kelas paling ramai pula. Kami sudah terbiasa dengan itu semua. Ketua kelas, si Adri kulihat hampir putus asa menasihati kami untuk tak lagi membuat ‘cap’ baru untuk kelas kami. Bahkan, wali kelas kami hampir tak pernah mau masuk ke kelas kami.
***
                Bel pelajaran berdering, para guru membubarkan diri menuju ke kelas. Begitupun juga dengan kami, segera menata diri di meja masing-masing. Setengah jam berselang, seperti yang kuduga.
“Jam kosong lagi ya, Mai?” tanya Dwita sambil memainkan bibirnya.
“Ya, kaya biasa. Lama-lama kita bosan ya, masa tiap hari ada aja jam kosongnya.” Jawabku tak kalah marahnya.
“Iya, Mai. Kita kan sekolah disini bayar. Masa kita gak dapat apa-apa sih. Apa lagi beberapa bulan lagi kan UeN.” Sahutnya panjang lebar.
                Kami sudah terbiasa dengan hal seperti ini, para guru memang selalu enggan masuk ke kelas kami. Mereka hanya masuk untuk memberikan ulangan kepada kami. Ya, memang tak adil, bukan? Aku kesal dengan dunia. Kami ini sama dengan kelas lain yang butuh perhatian, yang butuh pelajaran. Kami butuh bekal untuk UN empat bulan lagi. Biasanya, rata-rata nilai ulangan kelas kami selalu kalah dengan kelas lain. Itulah yang membuat kelas kami mendapatkan sebuah ‘cap’ baru, kelas terbodoh.
                Ketika jam kosong, sebagian dari kami memlilih untuk belajar sendiri dengan sekedar mengerjakan soal-soal atau berdiskusi. Sedangkan sebagian lainnya memilih untuk bermain sendiri, bercerita, atau mendengarkan musik. Sebenarnya, kami bukan siswa yang ‘sangat’ bodoh seperti yang biasa dituduhkan. Sebagian besar dari kami bahkan pernah merasakan menjadi lima besar di kelasnya masing-masing dulu di kelas VIII. Tak pelak sebuah tanda tanya besar muncul. Ada apa dengan kami?
***
                Sampai bel pulang berdering, hanya satu guru yang masuk ke kelas kami. Wajah sendu mulai terlihat wajah tiap siswa. Aku yakin, semua sedang berfikiran yang sama ‘Apa yang harus kami lakukan?’. Tak seperti biasa, Adri tak memperbolehkan kami pulang. Dia mengumpulkan kami kembali.
“Begini teman-teman, seperti yang kita ketahui bersama. Kita ini dianggap kelas terbodoh! Kalian mau cap itu terus menempel di sini?” ucap Adri tegas.
“Gaaakk!!” jawab kami serentak. Adri tersenyum.
“Kita bentuk kelompok belajar bersama, kalian setuju?”
“Kita harus belajar sama siapa? Kita kan gak punya guru privat atau guru les?” protesku.
“Iya, jadi kita bentuk dua grup. Masing-masing grup menyewa satu guru les. Kan kita ada 30 orang. Dibagi dua jadi 15 orang tiap grup. Bayarnya jadi ringan kan? Kalian bayar jangan minta orang tua ya. Sisihkan aja uang jajan kalian. Grup satu absen 1-15 dipimpin Maia. Grup dua absen 16-30 dipimpin Hana. Ketua grup bertugas mengumpulkan anggotanya. Setuju?” jelas Adri panjang lebar.
“Setuju!!!” seru kami bersamaan.
                Ya, tentu kami senang dengan usul Adri yang mencoba menyelesaikan masalah kami bersama. Jadilah kami, setiap sepulang sekolah berkumpul di rumahku. Belajar bersama guru privat kami, Bu Gita. Dengan sabarnya beliau mengajarkan kami yang belum tahu apa-apa menjadi tahu banyak.
***
                Kelas kami pun mulai bersolek. Merapikan dirinya. Cat biru yang mulai mengelupas dilapisi dengan cat kuning yang cerah menyala-nyala. Memberikan semangat baru bagi kami semua. Image buruk yang melekat pada kelas kami pun mulai pudar ditelan waktu. Kelasku kini tak seperti kelasku yang dulu. Tentu, kami bangga.
Teman-temanku yang dulunya masih kekanak-kanakan sekarang menjadi lebih dewasa. Mulai menyadari tugas berat sudah menghadang mereka di depan sana.
***
                Satu bulan sebelum ujian nasional, kami menyelenggarakan kegiatan berdoa secara rutin setiap harinya. Berdoa semoga Tuhan berpihak kepada kami. Semoga Tuhan membayar kerja keras kami dengan kata ‘LULUS’ pada ijazah kami. Semoga kerja keras kami tak sia-sia.
                Waktu ujian nasional pun tiba. Tujuan kami bukan hanya ingin mencetak kata ‘LULUS’. Kami ingin membuktikan pada semua orang yang dulu pernah memincingkan mata melihat kami bahwa kami juga bisa seperti mereka. Kami ingin mengubah tatapan itu menjadi decak kagum tak terkira.
***
                Hari pengumuman. Dengan hati penuh cemas kami memasuki aula sekolah. Satu per satu amplop kami terima sesuai dengan nama diri.
“Nanti amplopnya dibuka setelah hitungan ke tiga ya. Satu.. Dua...” seru kepala sekolah.
“Tiga!” Serentak kami membuka amplop ini. Kutemukan kata LULUS dalam ampolop ini. Seketika aku langsung berteriak.
“Yeay! Alhamdulillah!”
                Teriakanku diikuti suara teriakan teman-temanku. Kutanyakan satu per satu dan ternyata semua anak menemukan kata LULUS dalam amplop mereka.
“Tunggu dulu, anak-anak. Saya punya berita lain. Awalnya saya tidak percaya, rata-rata tertinggi UN SMP Pelita Harapan dipegang oleh kelas...” kepala sekolah mencoba menggantungkan suasana.
“Sembilan H!” serunya.
                Seketika kami langsung berteriak dengan kerasnya. Akhirnya kerja keras kami terbayar sudah. Terimakasih Tuhan. Senyum pun mengembang di bibir kami. Manis, manis sekali. Decak kagum dan tatapan kagum itupun datang dari anak-anak kelas lain yang sepertinya ingin menjadi kami saat ini.
“YES, I CAN!” teriak kami diikuti loncatan yang tinggi. Seakan ingin menggapai langit. Menggapai cita-cita kami.
—FIN—

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMBERONTAKAN YANG DIDALANGI PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA

Review: Kepunan - Benny Arnas

Puisi (10): Refleksi Diri