Puisi (3): Bagaimana Rasanya

Bagaimana Rasanya?
Farakh K. Nasida

Mencintaimu
bukan aku yang meminta
bukan hatiku yang mengiba
bukan perasaanku yang mendamba

Mengenalmu membuatku mengenal apa itu cinta
tapi sayangnya, dalam cinta itu ada lara yang tak terkira
ada sakit yang sama sekali tak kudamba
apakah dalam cinta harus ada lara?

Cinta itu rapuh
sebentar saja kamu lengah menjaganya, ia akan lepas dan mencari hati yang lain
sebentar saja kamu menyakitinya, ia akan mati dan tak ingin mengenal hatimu lagi
sedikit saja kamu melupakannya, kamu akan kehilangan dia selamanya

Tapi, ada yang perlu kamu tahu
cobalah ambil daun kering dan tekanlah perlahan
katakan apa yang terjadi?
hatiku jauh lebih rapuh dari apapun

Ia rapuh karenamu
kamu yang selalu membuatnya penuh duka
kamu yang selalu membakarnya dengan api yang semu, tak terlihat oleh siapapun
kamu yang menekannya dan membuatnya hancur, lalu saat aku berhasil membuatnya menyatu kembali, kamu juga yang menghancurkannya lagi

Kini hatimu berlabuh ke hati yang lain
belum atau bahkan tidak sempat berhenti di dermaga hati ini walau sedetik,
aku ingin merasakan bagaimana rasanya cintamu
bagaimana rasanya jika kamu datang dan menghentikan hujan duka yang terus saja menghujam ulu hati, seperti pelangi yang datang menghentikan hujan

Kasih tulusku untukmu terus mengalir bersama derai air mata yang tak jua berhenti
Kesabaranku menantimu juga masih ada, di sini, di dermaga hati yang belum kau sentuh sama sekali

Mungkin kamu menganggapku tiada
Ya, aku memang hanya angin lalu yang tak perlu dianggap ada
Atau bahkan mungkin kamu menganggapku ada, sebagai pengusik ketenangan kamu berdua
Maaf, tapi aku bukan pengusik, aku hanyalah hati yang ditakdirkan untuk mencintaimu

Aku masih di sini, di depan pintu hatimu yang tak kunjung kamu buka
Aku tak bergerak kemanapun
Aku masih di sini, dan berdoa kamu akan singgah barang sebentar di dermaga hati ini
atau bukakanlah pintu hatimu agar aku tahu bagaimana rasanya dicintai
Aku masih di sini, masih ada ruang kosong yang menunggu untuk kau isi

Ini tentang lisan yang tak pernah senada dengan hati
Aku tidak pernah benar-benar berkata, “Aku baik-baik saja.” ketika hatimu berlabuh di dermaga hati sahabatku
kamu memintaku untuk menjaga perasaanya, tapi bukankah aku juga punya perasaan yang tak kau jaga?

Aku memilih mengalah pada keadaan, biar waktu menjadi teman terbaikku
Aku memilih tersenyum untuk kebahagiaanmu, kebahagian kalian

Tapi semua itu masih menyisakan tanda tanya besar di hatiku:
Bagaimana rasanya dicintai?

Kamar Kost
22 November 2013
14:07





Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMBERONTAKAN YANG DIDALANGI PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA

Review: Kepunan - Benny Arnas

Puisi (10): Refleksi Diri